Selasa, 17 November 2009

WPP 2010: Makin Memudahkan & Menyenangkan


Saya termasuk penggemar foto yang jarang ikut kontes, apalagi sekelas World Press Photo (WPP). Dalam kontes foto WPP 2009, saya mencoba mengirim, hasilnya? Foto andalan saya tersingkir dari ribuan foto dari seluruh dunia :).


Tapi yang menarik sesungguhnya bukan soal menang kalah. Dari tahun ke tahun kepanitiaan WPP selalu berbenah. Hal-hal teknis seperti entry foto yang makin mudah dan kepersertaan yang terbuka bukan saja buat jurnalis membuat kontes fotojurnalistik dunia ini makin populer bagi penggemar foto.
Lalu tadi malam, saya dan tentu saja semua peserta WPP tahun lalu mendapat kabar baik dari panitia WPP. Sebuah email yang tidak saja mengingatkan ”mantan” peserta untuk mulai memilah foto untuk diikutsertakan WPP 2010. Namun juga diberitahukan bahwa per 1 Desember 2009, pendaftaran online akan dibuka dan akan menjadi satu-satunya cara untuk ikut dalam kontes fotojurnalistik yang telah digelar lebih dari 50 tahun ini.
Selain itu, panitia juga memberitahukan bahwa peserta tahun lalu akan akan mendapat link untuk mengaktifkan pendaftaran, dan segera setelah itu akan ada email balasan yang berisi user name dan password baru untuk upload foto! Betapa memudahkan dan menyenangkan:)

Tidak cukup disitu, keterbukaan dalam bingkai profesional juga ditunjukkan dalam email yang mencantumkan email khusus untuk berbagai pertanyaan dengan panitia (contest@worldpressphoto.org). Jarang ditemui di beberapa kontes, apalagi di tanah air yang sering menyebutkan ”tidak ada korespondensi bagi peserta dengan panitia”.
Saya pun segera mengirim kabar ini via sms ke seorang kawan (meski dia sebenarnya juga sudah dapat info dari email:)). Bukan bermaksud ikut mengingatkan teman, namun sekadar berbagi ”kebahagiaan”, betapa isi email sangat mencerminkan sebuah lembaga independen kelas dunia yang tidak saja terbuka dan teliti, namun juga efisien dan perhatian banget dengan calon maupun mantan peserta di seluruh dunia.
Semoga benar adanya informasi WPP di atas dan menginspirasi penggemar foto, juga tiap penyelenggara kontes foto di tanah air.
Selamat membongkar file foto tahun ini, dan menunggu katalog esklusif WPP datang ke rumah tahun depan!


Sabtu, 12 September 2009

Ngaji Ayat-Ayat Dokumentari


Terbayar sudah lelah dan penat menembus jalanan kota Surabaya-Lamongan saat kami mulai belajar ”ngaji” ayat-ayat foto dokumentari. Bersama 13 kawan penggemar foto yang terdiri dari mahasiswa, karyawan dan fotojurnalis, kami tiba Yayasan Ponpes Sumber Pendidikan Mental Agama Allah (SPMAA) Turi Lamongan.

Perkenalan singkat namun hangat dengan pengelola yayasan yang diwakili oleh Gus Glory Islamic dan Gus Adhim berlanjut dengan penelusuran subyek-subyek foto yang menebar di penjuru pesantren usai sholat ashar.
Tidak ada batas yang menghalangi kami untuk berinteraksi dengan kawan-kawan penghuni pondok yang terdiri dari balita, anak-anak, remaja hingga ibu-ibu lanjut usia. Lewat jendela bidik, kami menyaksikan proses belajar manusia sepanjang usia.

Bagai berada di sebuah negeri kecil dengan penghuninya yang beragam namun disatukan oleh keyakinan akan penghormatan dan penghargaan kepada sesama. Maka yang terasa adalah atmosfer kebersamaan Islami yang kental namun terbuka untuk menerima semua golongan.
Stigma bahwa kalangan pondok selalu berlatar tradsional, kuno dan tidak update lantas terbantah oleh cara berpikir pengelola yayasan yang sungguh cerdas. Jika beberapa waktu lalu beberapa kalangan ribut soal fatwa haram facebook (FB), justru disini, FB menjadi medium dakwah online. ”Namun hanya santri yang memiliki pengendalian diri lebih bisa memiliki akun facebook”, tutur Gus Glory.
Udara di lingkungan ini tidak saja sejuk, namun juga mengandung aliran internet. Maka tidak perlu heran jika para santri atau para ’Gus ’senantiasa well informed dengan isu terkini dan segera mendiskusikannya.

Matahari mulai menyembunyikan sinarnya. Satu per satu kawan menutup lensa kameranya. Sementara ratusan santri telah menyiapkan segelas kolak dan teh hangat untuk buka puasa.
Perjalanan foto kali ini makin afdol karena kawan-kawan secara saweran mengikhlaskan sebagian hartanya untuk bersedekah. Beribu terima kasih untuk semua kawan (boby,bobo,afu,rahmat,wirawan,adhit,nuha,faisal,martin,pram, ina dan sinar yuliati atas kepeduliannya). Juga untuk Gus Glory, Gus Adhim, Gus Hafid, Gus Naim maupun seluruh penghuni pondok. Dukungan kawan-kawan yang kali ini tidak bisa bergabung juga menjadi semangat bagi kami untuk terus belajar foto dokumentari.

Surabaya, 12 September 2009

Senin, 06 Juli 2009

Menikmati Pasar Tugu


Pasar Tugu di kawasan luar stadion Gajayana, Malang, menjadi alternatif wisata Minggu pagi. Ratusan pedagang menggelar dagangan di tenda atau ruang terbuka jalanan kota.

Pasar rakyat memang identik dengan kesederhanaan dan kemudahan. Tidak perlu ada ruang khusus ber-AC bagi penjual sehingga pengunjung bisa mendapat barang murah.
Di sisi lain., memasuki pasar rakyat ini serasa berada di tempat global. Simbol-simbol kearifan lokal hingga ikon mancanegara ada disini. Dari nasi pecel hingga burger, lalu gambar Soekarno hingga Avril Lavigne terpasang di tenda penjual poster.



Berjubelan dengan pengunjung lain juga bagian dari keunikan yang ditawarkan pasar rakyat. Tak perlu ragu untuk datang ke pasar dengan sandal jepit atau kaos oblong. Dan yang pasti kita bebas berbincang dan menawar harga yang tidak bisa didapatkan di pasar modern.

Rabu, 06 Mei 2009

Runtuhnya Rumah Kami

Reruntuhan bangunan kali Jagir, sehari setelah penggusuran


Subuh, 4 Mei 2009 menjadi ingatan buruk bagi warga stren kali Jagir. Pemerintah kota Surabaya akhirnya meluluhlantakkan bangunan di sepanjang stren kali Jagir.

Penghuni stren Kali Jagir adalah warga asal kawasan yang kini menjadi Pasar Wonokromo dan Terminal Joyoboyo. Mereka direlokasi Pemkot Surabaya di masa Walikota Sukotjo tahun 1960-an.

Kini, ratusan bangunan rumah maupun tempat usaha warga ini dianggap liar oleh pemerintah kota Surabaya.


Warga berada di reruntuhan rumah

Saat ini, ratusan warga masih tinggal di emperan toko yang terpaksa tutup karena ditempati perabotan rumah warga. Warga stren akan tetap tinggal di pingggir jalan Jagir sambil menunggu bantuan untuk relokasi tempat tinggal mereka.


Kini rumah warga tinggal kerangka, beratap langit.

Kamis, 30 April 2009

SRI


Satu goresan alis lagi, selesailah riasannya. Selendang merah bermotif kembang menggantung di pundak, rangkaian melati melingkar di atas kondenya, dan perhiasan berjejal di lengannya. Adalah Sri ( 21 ), waranggono atau sinder baru saja selesai dengan riasannya.

Sri tidak sedang manggung di desanya malam itu, meski tawaran manggung untuk perayaan bersih desa atau hajatan banyak datang. Malam itu Sri ditemani Lastri kerabatnya menyiapkan pakaian dan alat-alat rias di ruang ganti gedung serbaguna di kota Bojonegoro.

Sejak sore Sri meninggalkan desanya , Temayang, sekitar 30 km menuju kota Bojonegoro mengadu gemulai tarian dan lengkingan suaranya dalam pemilihan Waranggono Tayub Favorit wilayah Bojonegoro. Puluhan peserta lainnya datang dari Ngasem, Bubulan, Dander, Sukosewu, Kanor dan Bojonegoro. Di atas panggung, matanya kosong, nyaris tanpa pandangan yang tegas, meski dari bibirnya lengkingan tembang Jawa lembut terdengar.


Bagi Sri, barangkali bukan kemenangan dan ketenaran yang dia impikan, karena Sri adalah “artis” di desanya sendiri. Tanpa embel-embel juarapun, tawaran menari dan nyinden selalu datang, apalagi di musim orang kawin.
Malam itu kota Bojonegoro terasa dingin dan berangin. Usai malam pemilihan Waranggono, Sri pulang ke desanya, kembali menemani anak perempuannya, buah dari pernikahan muda yang kandas.

mamuk ismuntoro
Januari 2007

Selasa, 21 April 2009

Kartini

November 1901, Raden Ajeng Kartini, putri Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat, bupati Jepara membaca karya sastra “Surat-Surat Cinta” dan “Max Havelaar”. Selain korespondensi dengan kawan-kawannya di Belanda, Kartini suka sekali membaca karya sastra Multatuli dan beberapa karya sastra tinggi berbahasa Belanda lainnya. Lantas, kemajuan berpikir teman-tamannya di Eropa menginspirasinya untuk berjuang menyibak tabir gelap hak-hak perempuan pribumi yang cuma sebatas tembok rumah.
Kebebasan menuntut ilmu bagi perempuan Jawa kala itu menjadi salah satu catatan penting yang diperjuangkannya.






Kini seabad lebih peringatan kebangkitan dari kegelapan Kartini menggema di seluruh negeri. Lihatlah sekolah-sekolah dan kantor-kantor yang serentak mengidentifikasi peringatan Kartinian sebagai medium menunjukkan identitas baju daerah. Sebuah penghormatan terhadap budaya bangsa memang tak boleh luntur. Namun perlahan dan terus terjadi, penghormatan perjuangan Kartini lebih banyak ditunjukkan dengan menggelar peragaan busana adat Nusantara. Rasanya jauh sekali dengan cita-cita yang dicatatkan Kartini dalam “Habis Gelap Terbitlah Terang”.



Busana adat memang akan terus dipakai setahun sekali. Namun mudah-mudahan sekolah dan pendidik juga punya agenda untuk menularkan semangat kebebasan berpikir dan belajar bagi siswa.

lokasi foto: SDN Pakis III, Surabaya

Jumat, 10 April 2009

Suara Rakyat untuk Negeri

TPS 30, Kapasan Dalam, Surabaya

Di tengah apatisme dan kendala teknis pemilu, ritual pemungutan suara telah ditunaikan di seluruh negeri.Pesta demokrasi rakyat lima tahunan memang menguras banyak biaya dan tenaga. Mudah-mudahan, pemilu kali ini membuahkan pemimpin-pemimpin yang lebih baik untuk Indonesia.


TPS 03, Jagir Sidoresmo, Surabaya


TPS 14, Kalimas Udik, Surabaya



TPS 14, Kalimas Udik, Surabaya