Rabu, 18 Maret 2009

Lumpur Porong di Mata Fotografer Italia


Desa Besuki, Porong - Massimo Mastrorillo


Agustus 2008, Massimo Mastrorillo, fotografer Italia pemenang pertama World Press Photo 2006 kategori Nature Single, datang ke Porong, Sidoarjo. Bolak-balik selama 3 hari dengan motor dari Surabaya menuju reruntuhan desa Kedungbendo, Renokenongo dan pengungsian di Pasar Baru Porong.

Dengan beberapa kamera analog yang dibawa, diantaranya Rolleiflex dan Leica M3, Massimo mengabadikan “kematian” di tanah subur Porong pasca 2 tahun luapan Lumpur panas. Dia mencatat dan menghapal semua gambar yang baru saja direkamnya dalam buku kecil yang dibawanya. Tentu saja untuk mencocokkan file foto dan cerita yang didapatnya untuk kepentingan editing.

Selasa (17/3) malam, email dari Massimo mengabarkan bahwa foto-foto Porong telah meraih penghargaan di World Photography Award untuk kategori dokumenter - contemporary issue.

Secara personal Massimo sedikit temperamental namun sangat disiplin menjaga waktu. “Aku tidak punya waktu banyak, maka tiap kali datang ke sebuah lokasi, aku harus mendapatkan foto yang bagus,” tuturnya. Massimo justru kerap mengingatkan saya saat tiba waktu salat. Jika sudah begini, Massimo punya waktu istirahat. Sambil menunggui di depan musala atau masjid, Massimo mengelap kamera-kameranya.

Di tengah hunting selama tujuh hari mulai dari Porong, kawah Ijen dan kawasan prostitusi Dolly, Massimo berkelakar: “ Bisa-bisa aku menjadi muslim jika terlalu banyak jalan denganmu,” candanya.

Ya, Massimo yang mengaku tak berkeyakinan terhadap agama tetap menjadi kawan yang baik saat tiba waktu salat.


Untuk melihat foto-foto lengkap silakan kunjungi:

http://www.lightstalkers.org/galleries/contact_sheet/19503


Minggu, 15 Maret 2009

Potret Kucing Kampung

Kucing dipercaya telah dipelihara manusia sejak jaman Mesir kuno. Hewan ini dianggap telah menyelamatkan kehidupan dari kelaparan akibat serangan tikus.

Di mata fotografer, kucing kampung menjadi ide cemerlang untuk dituangkan dalam bingkai foto. Setidaknya bagi Fabiola Natasha dan R.m.Y Gani Sukarsono, fotografer Surabaya yang menampilkan 30 karya foto tentang kucing di galeri toko buku Petra Togamas, Surabaya, Sabtu (14/3).

Tema kucing menjadi menarik bukan saja karena tergolong hewan lucu,namun juga fenomena penyakit yang menyertai kucing dan populasinya yang nyaris tidak terdeteksi. Kucing berada dimana-mana. Mulai sudut kampung kumuh hingga restoran waralaba.

“Sedikit luka diujung jari oleh gigitan kucing yang membawa virus rabies adalah seratus persen kematian”, ungkap drh. Eka Andriyan, pembicara pameran di sela pembuakaan pameran.

Pameran foto kucing kali ini bukan saja menarik secara visual, namun juga sarat dengan informasi tentang kucing yang selama ini tak terdengar. Banyak kucing disayang namun tak sedikit yang menghindarinya.


photo: Boby NP

Selasa, 10 Maret 2009

Tambak Bayan, Suatu Hari


Li Cim In (90), hidup sebatang kara di rumah petak berukuran 4x4 meter. Untuk makan, dirinya mendapat bantuan dari tetangga dan gereja. Di rumah petak lainnya, Lim Siu Me (64), mengandalkan perekonomian dari anak dan saudara-saudaranya.

Warga etnis Tionghoa di Indonesia terlanjur dipersepsi sebagai kelompok yang mapan dan memonopoli dunia perekonomian. Nyatanya, problem ekonomi juga menjadi atribut bagi warga Tionghoa di Tambak Bayan, Surabaya dan daerah lain seperti Singkawang, Kalimantan Barat.


Ancaman penggusuran kawasan rumah petak Tambak Bayan yang mereka tempati sejak tahun 1940-an juga menjadi mimpi buruk sepanjang tahun. “Seingat saya, orang tua saya menempati rumah ini sejak pendudukan Jepang. Memang tidak ada surat berharga semacam sertifikat. Jika mau digusur saya belum tahu mau pindah kemana”, tutur Nio Kwee Hing (58).

Sekitar 60 kepala keluarga tinggal di kawasan Tambak Bayan Tengah, Surabaya. Tanah tempat mereka hidup akan terbeli oleh investor, tinggal menunggu waktu untuk pergi dari rumah petak yang telah menjadi menemani hidup mereka turun-temurun.

teks/photos : M Ismuntoro


Senin, 09 Maret 2009

Zhuang Wubin Exhibition


Photographer Zhuang Wubin launched his photo exhibition on 28 -

29 March 2009 at the National Library of Singapore. The title of the exhibition is

"Chinatowns in a Globalizing Southeast Asia". During the event, a book

featuring his photographic work, published by the Chinese Heritage Centre

(CHC), will also be launched. CHC is the leading library and research centre

in the region that focuses on research of the Overseas Chinese communities,

particularly those in Southeast Asia. Please refer to the invite as

attached.

A smaller selection from this book has already been exhibited at the

Alliance Francaise in Yangon during the Yangon Photo Festival from 6 to 14

Feb 2009.

To buy the book from overseas, please visit the e-commerce platform on

www.chineseheritagecentre.org after the first week of March 2009.



Keberanian Hidup


by. Wahyoe Boediwardhana , The Jakarta Post , Malang | Wed, 11/05/2008 10:34 AM | East Java

In the more than two years since the ongoing Sidoarjo mudflow disaster first hit, displacing thousands of villagers, it has remained a reality never fully spoken about in the public space.

But in contrast to most media portrayals, which show the horrible side of the disaster, a solo photo exhibition by freelance photographer Mamuk Ismuntoro is displaying its human face.

In the exhibition at the Malang Meeting Point, which gathers 26 photos taken on different occasions over the past two years under the title "Dare to Live", Mamuk seeks to catalogue people's grief from their initial displacement until the protracted suspension of compensation payments by PT Lapindo Brantas Inc.

"Through these photos, I am trying to describe the mudflow victims' patience and courage in surviving the disaster as the environment dies around them," he told The Jakarta Post at the exhibition opening here at the weekend.

He said that through the exhibition he wanted to go beyond the horrible face of the disaster, "and that is my strength and makes me different from others. If I was following other photographers and media, my work would be similar to theirs."

Mamuk, a former employee of Radar Surabaya daily, said he never made any appointments with the victims to take their pictures, but rather chose to listen to their stories, to take what had not been already exposed in the media and use the photos to tell a different story.

Photographic art lover Agus Leonardus praised Mamuk's exhibition and its different theme, saying of a photo titled Pernikahan Seorang Perempuan Bernama Diana (The Marriage of a Woman named Diana) that the woman's decision to marry showed her courage to live despite the devastation.



BALQIZ

Permainan dengan bola menstimulus Balqiz untuk mengenal benda di sekitarnya

Balqiz Baika Utami (2), adalah balita penyandang tuna netra akibat kelahiran prematur. Dengan informasi yang sangat terbatas tentang penanganan dini balita netra, Primaningrum, sang ibu berusaha dengan metoda sendiri untuk mendampingi tumbuh kembang anaknya yang memiliki kebutuhan khusus.
Dia juga tidak menutup diri dengan “menyembunyikan” anaknya dari lingkungan. Keterbukaan sang ibu ini justru menjadi titik penting mengapa para orang tua seharusnya tidak perlu menutup diri jika memiliki buah hati yang memiliki kebutuhan khusus.

Bagi Primaningrum, keterbukaan ini juga menjadi ajang melatih mental dirinya. “Jika mental saya tidak kuat, bagaimana saya bisa mendidik Balqiz memiliki mental yang tangguh kelak?," ujarnya.